Tidak terasa saya sudah memasuki blok terakhir dalam perkuliahan S1 saya, yaitu blok 4.3 Elective, di mana mahasiswa bisa memilih sendiri blok mana yang akan diikuti sesuai dengan minat. Pada term pertama, saya memilih Pain Management. Kenapa? Karena yang sering dikeluhkan pasien ketika mengunjungi dokter adalah nyeri. Jika kita bisa melakukan tata laksana nyeri dengan baik, maka pasien pun akan merasa senang dengan pelayanan kita.
Pagi hari, Kamis, 29
Desember 2011, saya dan kelompok saya mendapatkan tugas untuk melakukan Pain
Assessment di RS Dr. Sardjito. Sebelumnya kami tutorial terlebih dahulu. Tutorial
dilakukan di Bagian Saraf, karena tutor dan dosen pembimbing Pain Assessment kami
diampu oleh dokter yang sama, yaitu dr. K, M. Sc., Sp. S.
Setelah sekitar 1
jam lebih tutorial, barulah kami menuju ke Instalasi Rawat Inap Saraf untuk
melakukan Pain Assessment. Kami dan dokter K menuju ruang Dahlia 2, masuk ke
salah satu kamar yang berisikan 6 bed. Dokter K pun menghampiri salah satu bed
yang di sana sedang terbaring seorang bapak. Dokter K memulai obrolan dengan
salah satu pasien di kamar tersebut menggunakan bahasa Jawa. Dokter K memulai
obrolan dengan menanyakan kabar dan sedikit berbasa basi, kemudian barulah
dokter K memperkenalkan kami dan meminta persetujuan pasien tersebut untuk
ditanya-tanyai oleh kami. Alhamdulillah, bapak tersebut menyetujuinya.
Dokter K kemudian
mempersilahkan salah satu dari kami untuk berbincang-bincang dengan pasien
menanyakan keadaan sekaligus melakukan Pain Assessment kepada pasien tersebut.
Seperti biasa, kami saling tunjuk siapa yang akan melakukannya. Saat itu,
posisi berdiri saya paling dekat dengan pasien sehingga teman-teman akhirnya
sepakat menunjuk saya. Okelah, saya pun menyanggupinya.
Saya mulai dengan
berjabat tangan dengan bapak tersebut kemudian memperkenalkan diri. Tadinya
saya hendak berbicara dengan bahasa Jawa, tapi tidak jadi. Saya sadar diri
bahasa Jawa saya belum begitu lancar (kapan mau lancarnya kalau jarang
dipakai?), jadi saya menggunakan bahasa Indonesia saja daripada informasi yang
didapat setengah-setangah karena kesulitan komunikasi. Syukurlah pasien
tersebut juga bisa berbahasa Indonesia.
Bapak tersebut
memberitahukan namanya setelah saya tanya, nama beliau bapak H usianya 59 tahun.
Saya kemudian melanjutkan berkomunikasi dan melakukan anamnesis seperti biasa,
seperti yang diajarkan di skills lab. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan
sambil mencatat jawaban dari bapak H. Bapak H menjawab setiap pertanyaan dari
saya dengan sangat kooperatif.
Kurang lebih
percakapan saya dengan bapak H seperti ini:
Saya (Faisal, F): Sakit apa pak?
Bapak H (H): Nyeri
kepala, berdenyut (sambil memegang kepalanya), mata mblereng (mungkin artinya
pandangannya kabur), dan badan terasa ga enak.
F: Sejak kapan pak
sakit kepalanya?
H: Sejak tahun 2010
F: Terus menerus
nyeri pak?
H: Enggak,
kambuh-kambuhan. Terutama kalau bekerja agak berat.
F: Pekerjaan bapak
apa ya pak?
H: Saya kerjanya
buruh, tukang buat pintu dan jendela.
F: Pernah nyeri
sampai pingsan pak?
H: Ya sering. Kalau
kambuh, saya jadi tidak sadar, tiba-tiba pingsan karena nyeri sekali.
F: Nyeri kepalanya
di bagian kepala mana saja ya pak?
H: Ya di seluruh
kepala.
F: Kalau di badan
nyeri juga pak?
H: Ya terasa nyeri
juga, badannya terasa berat.
F: Bapak sudah
sering dirawat di rumah sakit? Sudah berapa kali pak?
H: Sudah 4 kali
F: Kalau yang
sekarang sudah berapa hari dirawat?
H: Sejak hari jumat
kemarin.
F: Biaya
perawatannya bayar sendiri atau ditanggung asuransi pak?
H: Ditanggung Askes
(Askeskin mungkin maksudnya)
F: Alamat bapak di
mana?
H: Tanya anak saya
itu (sambil menunjuk anaknya yang setia menungguinya), saya lupa lengkapnya.
F: Asli Jogja kan
pak?
H: Iya. Jogja.
F: Bapak di rumah
tinggal sama siapa saja?
H: Sama anak ...
(terdiam... kemudian pak H tiba-tiba menangis)
Saya pun kaget dan
bingung, koq bapak H tiba-tiba menangis. Ada yang salahkah dengan kata-kata
saya? Apa yang harus saya lakukan? Saya hanya bisa terdiam. Kemudian bapak H
melanjutkan jawabannya sembari masih menangis.
H: Anak saya ada
yang kerja di Jawa Barat, itu lho membuat tempe dan tahu, sudah lama dia tidak
pulang.
Oh, saya akhirnya
mengerti kenapa bapak H menangis. Bapak H teringat anaknya yang merantau di
Jawa Barat. Kemudian saya menanggapi jawaban bapak H:
F: Jawa Baratnya di
mana pak?
H: Bogor.
F: Oh Bogor. Saya
juga dari Jawa Barat pak, dari Cirebon.
Teman sekelompok
saya kemudian berbisik ke saya untuk melanjutkan meng-assess pain karena dari
tadi saya baru menilai lokasi dan riwayat nyerinya belum menanyakan intensitas
nyerinya. Saya melanjutkan untuk menilai nyeri.
F: Pak, kalau nyeri
bapak bisa dikasih nilai dari 0 sampai 10, kalau 0 ga nyeri sama sekali, kalau
10 nyeri banget, kira-kira nyeri bapak ini bisa dikasih nilai berapa ya pak?
H: Ya 10 itu. Kalau
lagi kumat nyeri sekali.
F: Oh, kalau lagi
kumat bisa sampai 10 ya pak? Kalau saat biasa seperti sekarang pak?
H: Iya. Kalau biasa
ya paling 5, ga terlalu nyeri.
Bapak H memberikan
nilai 10 bagi nyeri yang ia rasakan saat sedang kambuh. Hal ini menunjukkan,
secara subjektif, nyeri yang bapak H rasakan merupakan nyeri yang sangat hebat
dan tidak tertahankan. Bapak H kemudian mengatakan suatu hal yang membuat saya
terkagum-kagum. Kurang lebih seperti ini:
H: Ya kalau Yang
Di Atas sudah menetapkan seperti ini mau bagaimana lagi. Saya sabar saja,
menerima. Kan sehat, sakit, hidup, mati itu Allah yang menentukan. Kita hanya
bisa berusaha.
Dalam hati saya
berkata: “Masya Allah, luar biasa sekali bapak ini bisa sabar menerima penyakit
yang menimpa dirinya.” Saya sendiri mungkin belum tentu bisa bersabar jika
diberi ujian yang sama dengan yang diberikan kepada bapak H ini. Sakit gigi sedikit
saja sudah mengeluh, pegal-pegal sedikit saja sudah tidak sabar, terkena flu
ringan saja sudah merasa berat. Bagaimana kalau saya diberi cobaan seperti
bapak H ini? Ya Allah ampuni hamba-Mu yang lemah ini.
Setelah dirasakan
sudah cukup, saya menyudahi perbincangan saya dengan bapak H. Dokter K kemudian
mengucapkan terima kasih kepada bapak H dan mendo’akan supaya bapak H cepat
sembuh. Setelah itu, dokter K berkata kepada bapak H dalam bahasa Jawa yang
artinya kurang lebih seperti ini:
“Dokter dan obat-obatan
itu cuma perantara, Allah lah yang memberikan kesembuhan.”
Kemudian saya dan
teman-teman bersalaman dan berpamitan kepada bapak H dan mendo’akan supaya
bapak H cepat sembuh.
Setelah itu, kami
melakukan refleksi kasus bapak H ini di ruang diskusi tidak jauh dari kamar
tempat bapak H dirawat. Dokter K kemudian menjelaskan penyakit yang dialami
bapak H. Penyakit yang dialami bapak H bernama Astrositoma. Astrositoma adalah
sebuah tumor yang mengenai salah satu jenis sel di otak yang berbentuk seperti
bintang (Astrosit). Dokter K juga menjelaskan, setelah dilakukan CT-Scan,
Astrositoma yang diderita bapak H sudah besar sehingga tidak mungkin dilakukan
operasi pengangkatan.
Untuk bapak H,
semoga cepat sembuh dan selalu diberikan yang terbaik oleh Allah dan semoga
tetap diberikan kesabaran dengan sabar yang baik.
Banyak sekali
pelajaran yang dapat diambil dari sesi Pain Assessment yang singkat pagi tadi.
Antara lain:
1. Komunikasi dokter-pasien yang
sesungguhnya tidak semudah ketika latihan dengan teman sendiri atau dengan
pasien simulasi di skills lab. Dibutuhkan pengalaman dan jam terbang.
2. Kita harus sabar dalam menghadapi
cobaan yang Allah berikan. Karena sabar menerima takdir Allah merupakan 1 dari
3 jenis sabar.
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi
tiga macam:
a. Bersabar dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah
b. Bersabar untuk tidak
melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
c. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa
berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan
manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul,
hal. 24)
Sabar yang diterima
adalah saat goncangan pertama. Maksudnya, sesaat setelah cobaan menimpa kita,
kita harus langsung bersabar dan ridho terhadap kehendak Allah. Adapun sabar
setelah itu maka tidak dianggap sabar.
“Sesungguhnya
kesabaran itu letaknya pada goncangan yang pertama.” (HR. Al-
Bukhari no. 1302 dan Muslim no. 1534)
3. Kita harus yakin bahwa Allah tidak
akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.
“Allah
tidak
membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.S. Al-Baqarah:
286)
4. Kita harus mengimani bahwa Allah telah
menetapkan segala sesuatu, akan tetapi hal ini tidak menyebabkan kita enggan
melakukan ikhtiar (usaha) dengan sebaik-baiknya.
5. Allah berada di atas arsy-Nya sesuai
dengan keagungan-Nya, bukan bersatu dengan makhluk-Nya, bukan pula berada di dalam
hati hamba-Nya, bukan pula berada di segala tempat.
“Allah Yang
Maha Pemurah bersemayam di
atas Arsy” (QS. Thaha: 5)
Imam Asy Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang
menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat
dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu
adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy
di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya” (Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah,
Bab 4)
6. Allah lah yang memberikan kesembuhan,
dokter dan obat-obatan hanya perantara.
“Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan
aku” (QS asy-Syu'araa': 80)
7. Seorang dokter seharusnya tidak hanya
memperhatikan masalah kesehatan fisik pasien saja. Akan tetapi, kesehatan
psikologis dan spiritual pasien pun harus diperhatikan.
8. Menjadi seorang
dokter merupakan ladang dakwah yang sangat besar.
9. Dalam kondisi apapun dakwah tauhid dan
aqidah yang lurus merupakan dakwah yang harus selalu diutamakan.
Semoga Allah meluruskan niat saya dalam menulis.
Wallahu waliyyut taufiq.
Diselesaikan ba'da Ashar, 4 Shafar 1433 H, 29 Desember 2011 @Wisma Darus Shalihin
Artikel rahadianfaisal.blogspot.com
Semoga Allah meluruskan niat saya dalam menulis.
Wallahu waliyyut taufiq.
Diselesaikan ba'da Ashar, 4 Shafar 1433 H, 29 Desember 2011 @Wisma Darus Shalihin
Artikel rahadianfaisal.blogspot.com
cahan-cahan airh teyjun cupaya ndak mengayir di depan Bang Faisal,,,culit juga yach
BalasHapusbang cara subscribe lewat email dan rss di blog abang pagimane caranye???
BalasHapusBuma-Buha,
BalasHapusBuka mata-buka hati,
untuk mengambil pelajaran dari lingkungan kita
masih sempet nulis je. luar biasa!
BalasHapus@Mas Zaki:
BalasHapusMas Zaki alay puol...
@Rezki:
Kata panji: "Hanya anak SMA 8 yg ngerti artinya"
@Abi:
Bosen nyekripsi terus...
alhamdulillah semakin banyak anak fk yang mau ikut "ngaji".
BalasHapuskalau ada artikel yang bisa di share baik itu cerita atau pelajaran boleh tu....
silahkan mampir
www.medbook.or.id
Alhamdulillah...
BalasHapusIni adminnya medbook siapa ya? Kenal sama saya?