Social Icons

twitterfacebookgoogle plustumblrrss feedemail

Kamis, 29 Desember 2011

Bapak H (Sebuah Cerita tentang Rasa Sakit, Kesabaran, Dokter, dan Dakwah)



Tidak terasa saya sudah memasuki blok terakhir dalam perkuliahan S1 saya, yaitu blok 4.3 Elective, di mana mahasiswa bisa memilih sendiri blok mana yang akan diikuti sesuai dengan minat. Pada term pertama, saya memilih Pain Management. Kenapa? Karena yang sering dikeluhkan pasien ketika mengunjungi dokter adalah nyeri. Jika kita bisa melakukan tata laksana nyeri dengan baik, maka pasien pun akan merasa senang dengan pelayanan kita.

Pagi hari, Kamis, 29 Desember 2011, saya dan kelompok saya mendapatkan tugas untuk melakukan Pain Assessment di RS Dr. Sardjito. Sebelumnya kami tutorial terlebih dahulu. Tutorial dilakukan di Bagian Saraf, karena tutor dan dosen pembimbing Pain Assessment kami diampu oleh dokter yang sama, yaitu dr. K, M. Sc., Sp. S.

Setelah sekitar 1 jam lebih tutorial, barulah kami menuju ke Instalasi Rawat Inap Saraf untuk melakukan Pain Assessment. Kami dan dokter K menuju ruang Dahlia 2, masuk ke salah satu kamar yang berisikan 6 bed. Dokter K pun menghampiri salah satu bed yang di sana sedang terbaring seorang bapak. Dokter K memulai obrolan dengan salah satu pasien di kamar tersebut menggunakan bahasa Jawa. Dokter K memulai obrolan dengan menanyakan kabar dan sedikit berbasa basi, kemudian barulah dokter K memperkenalkan kami dan meminta persetujuan pasien tersebut untuk ditanya-tanyai oleh kami. Alhamdulillah, bapak tersebut menyetujuinya.

Dokter K kemudian mempersilahkan salah satu dari kami untuk berbincang-bincang dengan pasien menanyakan keadaan sekaligus melakukan Pain Assessment kepada pasien tersebut. Seperti biasa, kami saling tunjuk siapa yang akan melakukannya. Saat itu, posisi berdiri saya paling dekat dengan pasien sehingga teman-teman akhirnya sepakat menunjuk saya. Okelah, saya pun menyanggupinya.

Saya mulai dengan berjabat tangan dengan bapak tersebut kemudian memperkenalkan diri. Tadinya saya hendak berbicara dengan bahasa Jawa, tapi tidak jadi. Saya sadar diri bahasa Jawa saya belum begitu lancar (kapan mau lancarnya kalau jarang dipakai?), jadi saya menggunakan bahasa Indonesia saja daripada informasi yang didapat setengah-setangah karena kesulitan komunikasi. Syukurlah pasien tersebut juga bisa berbahasa Indonesia.

Bapak tersebut memberitahukan namanya setelah saya tanya, nama beliau bapak H usianya 59 tahun. Saya kemudian melanjutkan berkomunikasi dan melakukan anamnesis seperti biasa, seperti yang diajarkan di skills lab. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan sambil mencatat jawaban dari bapak H. Bapak H menjawab setiap pertanyaan dari saya dengan sangat kooperatif.

Kurang lebih percakapan saya dengan bapak H seperti ini:


Saya (Faisal, F):  Sakit apa pak?

Bapak H (H): Nyeri kepala, berdenyut (sambil memegang kepalanya), mata mblereng (mungkin artinya pandangannya kabur), dan badan terasa ga enak.

F: Sejak kapan pak sakit kepalanya?

H: Sejak tahun 2010

F: Terus menerus nyeri pak?

H: Enggak, kambuh-kambuhan. Terutama kalau bekerja agak berat.

F: Pekerjaan bapak apa ya pak?

H: Saya kerjanya buruh, tukang buat pintu dan jendela.

F: Pernah nyeri sampai pingsan pak?

H: Ya sering. Kalau kambuh, saya jadi tidak sadar, tiba-tiba pingsan karena nyeri sekali.

F: Nyeri kepalanya di bagian kepala mana saja ya pak?

H: Ya di seluruh kepala.

F: Kalau di badan nyeri juga pak?

H: Ya terasa nyeri juga, badannya terasa berat.

F: Bapak sudah sering dirawat di rumah sakit? Sudah berapa kali pak?

H: Sudah 4 kali

F: Kalau yang sekarang sudah berapa hari dirawat?

H: Sejak hari jumat kemarin.

F: Biaya perawatannya bayar sendiri atau ditanggung asuransi pak?

H: Ditanggung Askes (Askeskin mungkin maksudnya)

F: Alamat bapak di mana?

H: Tanya anak saya itu (sambil menunjuk anaknya yang setia menungguinya), saya lupa lengkapnya.

F: Asli Jogja kan pak?

H: Iya. Jogja.

F: Bapak di rumah tinggal sama siapa saja?

H: Sama anak ... (terdiam... kemudian pak H tiba-tiba menangis)

Saya pun kaget dan bingung, koq bapak H tiba-tiba menangis. Ada yang salahkah dengan kata-kata saya? Apa yang harus saya lakukan? Saya hanya bisa terdiam. Kemudian bapak H melanjutkan jawabannya sembari masih menangis.

H: Anak saya ada yang kerja di Jawa Barat, itu lho membuat tempe dan tahu, sudah lama dia tidak pulang.

Oh, saya akhirnya mengerti kenapa bapak H menangis. Bapak H teringat anaknya yang merantau di Jawa Barat. Kemudian saya menanggapi jawaban bapak H:

F: Jawa Baratnya di mana pak?

H: Bogor.

F: Oh Bogor. Saya juga dari Jawa Barat pak, dari Cirebon.

Teman sekelompok saya kemudian berbisik ke saya untuk melanjutkan meng-assess pain karena dari tadi saya baru menilai lokasi dan riwayat nyerinya belum menanyakan intensitas nyerinya. Saya melanjutkan untuk menilai nyeri.

F: Pak, kalau nyeri bapak bisa dikasih nilai dari 0 sampai 10, kalau 0 ga nyeri sama sekali, kalau 10 nyeri banget, kira-kira nyeri bapak ini bisa dikasih nilai berapa ya pak?

H: Ya 10 itu. Kalau lagi kumat nyeri sekali.

F: Oh, kalau lagi kumat bisa sampai 10 ya pak? Kalau saat biasa seperti sekarang pak?

H: Iya. Kalau biasa ya paling 5, ga terlalu nyeri.

Bapak H memberikan nilai 10 bagi nyeri yang ia rasakan saat sedang kambuh. Hal ini menunjukkan, secara subjektif, nyeri yang bapak H rasakan merupakan nyeri yang sangat hebat dan tidak tertahankan. Bapak H kemudian mengatakan suatu hal yang membuat saya terkagum-kagum. Kurang lebih seperti ini:

H: Ya kalau Yang Di Atas sudah menetapkan seperti ini mau bagaimana lagi. Saya sabar saja, menerima. Kan sehat, sakit, hidup, mati itu Allah yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha.

Dalam hati saya berkata: “Masya Allah, luar biasa sekali bapak ini bisa sabar menerima penyakit yang menimpa dirinya.” Saya sendiri mungkin belum tentu bisa bersabar jika diberi ujian yang sama dengan yang diberikan kepada bapak H ini. Sakit gigi sedikit saja sudah mengeluh, pegal-pegal sedikit saja sudah tidak sabar, terkena flu ringan saja sudah merasa berat. Bagaimana kalau saya diberi cobaan seperti bapak H ini? Ya Allah ampuni hamba-Mu yang lemah ini.

Setelah dirasakan sudah cukup, saya menyudahi perbincangan saya dengan bapak H. Dokter K kemudian mengucapkan terima kasih kepada bapak H dan mendo’akan supaya bapak H cepat sembuh. Setelah itu, dokter K berkata kepada bapak H dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih seperti ini:

Dokter dan obat-obatan itu cuma perantara, Allah lah yang memberikan kesembuhan.

Kemudian saya dan teman-teman bersalaman dan berpamitan kepada bapak H dan mendo’akan supaya bapak H cepat sembuh.

Setelah itu, kami melakukan refleksi kasus bapak H ini di ruang diskusi tidak jauh dari kamar tempat bapak H dirawat. Dokter K kemudian menjelaskan penyakit yang dialami bapak H. Penyakit yang dialami bapak H bernama Astrositoma. Astrositoma adalah sebuah tumor yang mengenai salah satu jenis sel di otak yang berbentuk seperti bintang (Astrosit). Dokter K juga menjelaskan, setelah dilakukan CT-Scan, Astrositoma yang diderita bapak H sudah besar sehingga tidak mungkin dilakukan operasi pengangkatan.

Untuk bapak H, semoga cepat sembuh dan selalu diberikan yang terbaik oleh Allah dan semoga tetap diberikan kesabaran dengan sabar yang baik.


Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari sesi Pain Assessment yang singkat pagi tadi. Antara lain:

1. Komunikasi dokter-pasien yang sesungguhnya tidak semudah ketika latihan dengan teman sendiri atau dengan pasien simulasi di skills lab. Dibutuhkan pengalaman dan jam terbang.

2. Kita harus sabar dalam menghadapi cobaan yang Allah berikan. Karena sabar menerima takdir Allah merupakan 1 dari 3 jenis sabar.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

a. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah

b. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah

c. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar yang diterima adalah saat goncangan pertama. Maksudnya, sesaat setelah cobaan menimpa kita, kita harus langsung bersabar dan ridho terhadap kehendak Allah. Adapun sabar setelah itu maka tidak dianggap sabar.

Sesungguhnya kesabaran itu letaknya pada goncangan yang pertama.” (HR. Al- Bukhari no. 1302 dan Muslim no. 1534)

3. Kita harus yakin bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)

4. Kita harus mengimani bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, akan tetapi hal ini tidak menyebabkan kita enggan melakukan ikhtiar (usaha) dengan sebaik-baiknya.

5. Allah berada di atas arsy-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, bukan bersatu dengan makhluk-Nya, bukan pula berada di dalam hati hamba-Nya, bukan pula berada di segala tempat.

“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy (QS. Thaha: 5)

Imam Asy Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya” (Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah, Bab 4)

6. Allah lah yang memberikan kesembuhan, dokter dan obat-obatan hanya perantara.

Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS asy-Syu'araa': 80)

7. Seorang dokter seharusnya tidak hanya memperhatikan masalah kesehatan fisik pasien saja. Akan tetapi, kesehatan psikologis dan spiritual pasien pun harus diperhatikan.

8. Menjadi seorang dokter merupakan ladang dakwah yang sangat besar.

9. Dalam kondisi apapun dakwah tauhid dan aqidah yang lurus merupakan dakwah yang harus selalu diutamakan.

Semoga Allah meluruskan niat saya dalam menulis.
Wallahu waliyyut taufiq.


Diselesaikan ba'da Ashar, 4 Shafar 1433 H, 29 Desember 2011 @Wisma Darus Shalihin
Artikel rahadianfaisal.blogspot.com

7 komentar:

  1. cahan-cahan airh teyjun cupaya ndak mengayir di depan Bang Faisal,,,culit juga yach

    BalasHapus
  2. bang cara subscribe lewat email dan rss di blog abang pagimane caranye???

    BalasHapus
  3. Buma-Buha,
    Buka mata-buka hati,
    untuk mengambil pelajaran dari lingkungan kita

    BalasHapus
  4. masih sempet nulis je. luar biasa!

    BalasHapus
  5. @Mas Zaki:
    Mas Zaki alay puol...

    @Rezki:
    Kata panji: "Hanya anak SMA 8 yg ngerti artinya"

    @Abi:
    Bosen nyekripsi terus...

    BalasHapus
  6. alhamdulillah semakin banyak anak fk yang mau ikut "ngaji".

    kalau ada artikel yang bisa di share baik itu cerita atau pelajaran boleh tu....
    silahkan mampir

    www.medbook.or.id

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah...

    Ini adminnya medbook siapa ya? Kenal sama saya?

    BalasHapus