Social Icons

twitterfacebookgoogle plustumblrrss feedemail

Minggu, 07 Agustus 2011

Tinjauan Syar'i dan Matematis Arah Kiblat Indonesia


Tulisan ini terinspirasi dari seorang bapak yang shalat di sebelah saya. Bapak itu shalat dengan posisi agak miring, berbeda dengan jama’ah yang lainnya. Ada 2 kemungkinan kenapa bapak ini shalat dengan posisi yang agak miring. Pertama, bapak ini matanya mengalami gangguan sehingga tidak bisa memposisikan diri dengan baik ketika sholat. Yang kedua, bapak ini merasa arah kiblat masjid belum benar sehingga shalat dengan posisi miring agar pas ke arah kiblat yang benar menurutnya. Dari dua kemungkinan ini, saya menguatkan kemungkinan yang kedua yaitu bapak tadi memiringkan posisi shalatnya agar pas dengan arah ka’bah.

Tinjauan Syar’i Arah Kiblat

Menghadap kiblat ada dua keadaan: [1] ketika melihat ka’bah secara langsung, [2] ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.

1.  Ketika melihat ka’bah secara langsung
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persis ke arah ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”

2.  Ketika tidak melihat ka’bah secara langsung
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih)

Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng  atau tidak persis ke arah ka’bah.

Sehingga dapat kita katakan:
1.  Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
2.  Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita cukup menghadap ke arah barat yaitu antara arah utara dan selatan.

Tinjauan Matematis Arah Kiblat
Dimensi struktur bangunan ka'bah lebih kurang berukuran 13,10 m tinggi dengan sisi 11,03 m kali 12,62 m, sedangkan jarak dari Yogyakarta ke ka’bah sekitar 8350 km.


1.  Ditinjau dari lebar Ka’bah
Lebar ka’bah kurang dari 13 m. Misalnya suatu masjid dengan lebar lebih dari 13 m tepat mengarah ke ka’bah. Maka bisa dipastikan ada jama’ah yang tidak menghadap ke arah ka’bah dengan tepat karena lebar masjid yang melebihi lebar ka’bah.

2.  Ditinjau dari arah shalat
Dengan mengubah arah sholat kita 1 derajat saja sudah melencengkan kita dari arah ka’bah sejauh 145,8 km. Perhitungannya sebagai berikut:
 
Rumus:
α/360 x 2πR

dengan:
α = sudut melenceng dari arah ka’bah
R = jarak dari Yogyakarta – Ka’bah = 8350 km

1/360 x 2 x 22/7 x 8350 km = 145,8 km

Jadi, dengan hanya berubah arah 1 derajat saja, sudah melencengkan kita dari arah ka’bah sejauh 145,8 km.
Dari 2 tinjauan matematis di atas, dapat disimpulkan kalau membuat arah shalat kita tepat menghadap ka’bah adalah hal yang sangat sulit dilakukan.

Kesimpulan
Dari tinjauan syar’i di atas kita mengetahui bahwa bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung (termasuk di Indonesia) maka yang diwajibkan baginya hanyalah menghadap ke arah kiblat, untuk Indonesia yaitu menghadap ke arah antara utara dan selatan. Jadi, selama seseorang shalat menghadap arah barat, yaitu antara utara dan selatan, orang tersebut sudah dianggap shalat menghadap kiblat. Tidak perlu bersusah-susah membuat arah shalat kita tepat menghadap ka’bah dengan persis karena hal itu selain termasuk ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghadap kiblat, juga sangat sulit dilakukan, sesuai dengan tinjauan matematis di atas.

Semoga bermanfaat.
Mohon koreksi jika terdapat kesalahan.

Referensi:

dini hari, 7 Ramadhan 1432 H, 7 Agustus 2011, @Wisma Darus Shalihin
artikel rahadianfaisal.blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar